Omah Fakta – Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika dijadwalkan menggelar sidang darurat tingkat menteri pada hari Selasa untuk membahas eskalasi pertempuran di Republik Demokratik Kongo (DRC). Pertemuan tersebut diselenggarakan sebagai respons terhadap permintaan yang diajukan oleh pemerintah DRC kepada Uni Afrika untuk menanggapi situasi keamanan yang semakin memburuk di wilayah timur negara tersebut. Sidang ini, yang akan dilaksanakan pada pukul 16:00 Waktu Afrika Timur (13:00 GMT), diharapkan dapat membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk meredakan ketegangan yang sedang berlangsung.
Pusat riset dan konsultasi Amani Africa menyebutkan bahwa pertemuan ini merupakan langkah nyata untuk menanggapi kekhawatiran yang semakin mendalam terkait pertempuran sengit antara pasukan pemerintah DRC dan kelompok pemberontak yang beroperasi di kawasan timur negara tersebut. Salah satu kelompok pemberontak yang terlibat dalam konflik ini adalah M23, yang pada beberapa kesempatan telah merebut sejumlah wilayah penting, termasuk kota Goma di Provinsi Kivu Utara.
Dalam pertemuan tersebut, Misi Aljazair untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa Dewan Keamanan PBB juga akan mengadakan pertemuan darurat untuk membahas situasi ini. PBB menyatakan bahwa pertempuran antara aliansi pemberontak yang melibatkan kelompok M23 dan pasukan Rwanda telah menyebabkan ketegangan yang semakin meningkat di kawasan tersebut. Kepala Misi Penjaga Perdamaian PBB (MONUSCO), Bintou Keita, menyatakan bahwa pemberontak M23 bersama dengan pasukan dari Rwanda telah menyerbu pinggiran kota Goma, memperburuk kondisi keamanan di wilayah tersebut.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyerukan kepada pemerintah Rwanda untuk segera menarik pasukannya dari DRC. Guterres menganggap bahwa kehadiran pasukan Rwanda di wilayah timur DRC memperburuk ketegangan dan memperlambat upaya untuk meredakan situasi yang sudah sangat tegang.
Ketegangan antara DRC dan Rwanda sudah berlangsung lama, dan puncaknya terjadi pada Juli 2022, ketika kedua negara tersebut mengadakan pertemuan puncak di Angola untuk membahas peningkatan aktivitas kelompok M23. Kelompok M23 dikenal sebagai kelompok pemberontak yang memperjuangkan kepentingan etnis Tutsi di wilayah timur DRC. DRC menuduh Rwanda mendukung pemberontak M23, sementara Rwanda membantah tuduhan tersebut, mengklaim bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan kelompok tersebut.
Kedua negara telah saling menuduh satu sama lain melakukan serangan di wilayah perbatasan masing-masing, memperburuk ketegangan yang sudah ada. Dalam upaya untuk meredakan situasi, Presiden DRC, Felix Tshisekedi, dan Presiden Rwanda, Paul Kagame, sepakat untuk mencapai kesepakatan perdamaian. Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah peta jalan yang disepakati untuk menghentikan permusuhan dan menarik pasukan M23 secara segera dan tanpa syarat dari posisi mereka di DRC.
Namun, meskipun telah ada kesepakatan tersebut, kelompok pemberontak M23 menegaskan bahwa mereka tidak merasa terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam peta jalan itu. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, tantangan besar masih tetap ada dalam mencapai perdamaian yang langgeng di kawasan tersebut.
Sidang darurat yang akan diadakan oleh Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika diharapkan dapat memberikan solusi yang konstruktif terhadap krisis yang sedang berlangsung di DRC. Uni Afrika, yang memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Afrika, diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam membantu menyelesaikan konflik ini dan mendorong kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan yang lebih permanen. Sebagai bagian dari upaya internasional, penting bagi komunitas internasional untuk bersatu dalam mendukung proses perdamaian di DRC dan memastikan bahwa konflik yang telah berlangsung lama ini dapat segera berakhir demi kesejahteraan rakyat DRC dan stabilitas kawasan Afrika Tengah.