
Sumber: freepik.com
Hai sobat Omah Fakta! Kalian tentu sempat amati unggahan seorang di media sosial yang pamer benda branded, mobil elegan, liburan ke luar negara, ataupun makan di restoran luar biasa mahal. Nah, seperti itu yang biasa diucap dengan sebutan “flexing”. Di masa digital semacam saat ini, flexing jadi fenomena yang kian kerap nampak, paling utama di platform semacam Instagram, TikTok, serta YouTube. Tetapi sesungguhnya, flexing itu apa sih? Ayo, kita bahas lebih dalam!
Apa Itu Flexing?
Flexing berasal dari bahasa Inggris “flex”, yang secara harfiah berarti menekuk ataupun memamerkan otot. Tetapi dalam konteks media sosial, sebutan ini lebih merujuk pada aksi memamerkan kekayaan, style hidup glamor, ataupun hal- hal yang dikira elegan serta luar biasa. Tujuannya dapat macam- macam, dari semata- mata menampilkan pencapaian, mau dikagumi, sampai semata- mata cari validasi.
Flexing serta Budaya Digital
Di dunia maya, citra merupakan segalanya. Banyak orang berlomba- lomba menampilkan sisi terbaik hidup mereka demi memperoleh likes, views, serta followers. Flexing jadi salah satu metode kilat buat menarik atensi. Kala seorang mengunggah gambar liburan di Maldives ataupun beli mobil sport, otomatis respons orang dapat jadi “wow” serta menaikkan status sosial mereka secara digital.
Flexing Tidak Senantiasa Negatif
Walaupun kerap dicap negatif, sesungguhnya flexing tidak senantiasa kurang baik. Terdapat pula yang memakai momen tersebut buat menampilkan hasil kerja kerasnya ataupun selaku inspirasi untuk orang lain. Misalnya, seseorang entrepreneur muda yang memberikan cerita suksesnya sambil memamerkan rumah barunya selaku motivasi. Jika dicoba dengan konteks yang pas, flexing dapat bawa semangat positif.
Kapan Flexing Jadi Toxic?
Permasalahan timbul kala flexing dicoba dengan hasrat pamer semata ataupun apalagi berbohong demi nampak “wah”. Misalnya, pura- pura naik jet individu sementara itu hanya numpang gambar, ataupun menyewa benda mahal cuma buat konten. Ini dapat menghasilkan tekanan sosial yang tidak sehat, paling utama untuk generasi muda yang merasa wajib hidup cocok standar palsu tersebut.
Media Sosial serta Tekanan Style Hidup
Media sosial menghasilkan ilusi kalau hidup orang lain senantiasa lebih mengasyikkan serta berhasil. Flexing menguatkan ilusi itu. Dampaknya, banyak orang merasa minder ataupun tertekan sebab menyamakan hidupnya dengan konten yang mereka amati. Sementara itu, apa yang tampak di layar belum pasti mencerminkan realitas yang sesungguhnya.
Flexing dalam Dunia Selebriti serta Influencer
Flexing pula erat kaitannya dengan dunia selebriti serta influencer. Mereka memiliki pengaruh besar serta kerap dijadikan panutan. Kala mereka terus memamerkan benda elegan ataupun style hidup elite, pengikutnya dapat turut terbawa- bawa. Tidak tidak sering, ini merangsang konsumerisme kelewatan ataupun membuat orang merasa wajib tampak glamor supaya dikira keren.
Kedudukan Konten Kreator dalam Menyikapi Flexing
Para kreator konten memiliki tanggung jawab moral dalam menyajikan konten yang tidak cuma menarik, tetapi pula realistis. Mereka dapat memilah buat senantiasa autentik serta jujur tentang kehidupan mereka, bukan cuma menunjukkan kemewahan. Dengan begitu, audiens tidak cuma memperoleh hiburan, tetapi pula pesan yang membangun serta tidak menyesatkan.
Flexing serta Kesehatan Mental
Sangat kerap terpapar konten flexing dapat berakibat pada kesehatan mental. Rasa iri, takut, ataupun rendah diri dapat timbul sebab merasa hidupnya tidak seindah orang lain. Ini berartinya menghalangi mengkonsumsi media sosial serta menguasai kalau tiap orang memiliki waktu serta jalannya tiap- tiap buat menggapai keberhasilan.
Flexing Selaku Strategi Branding
Di sisi lain, flexing pula dapat digunakan selaku strategi branding, paling utama buat pelakon bisnis ataupun personal branding. Misalnya, seseorang motivator yang menampilkan rumah serta mobilnya selaku fakta nyata keberhasilan tata cara yang ia ajarkan. Dalam konteks ini, flexing digunakan buat membangun keyakinan serta citra handal.
Bijak Mengalami Flexing
Tidak terdapat yang salah dengan menikmati hidup serta berbagi momen membahagiakan di media sosial. Tetapi berarti buat senantiasa sadar kalau tiap unggahan merupakan opsi yang dikurasi. Bijak dalam memandang, menyikapi, serta mengelola ekspektasi dari apa yang dilihat di media sosial dapat membuat kita senantiasa waras serta tidak terjebak dalam standar palsu.
Kesimpulan
Flexing merupakan bagian dari budaya digital yang tidak dapat dihindari, terlebih di masa media sosial yang serba kilat serta visual. Walaupun dapat jadi fasilitas buat berbagi inspirasi ataupun membangun branding, flexing pula dapat bawa akibat negatif bila dicoba secara kelewatan ataupun tidak jujur. Dengan menguasai konteks serta hasrat di balik konten yang dilihat, kita dapat lebih bijak memperhitungkan serta tidak gampang terbawa- bawa oleh pencitraan semu yang kerap tampak di dunia maya.