Omah Fakta – Hasil survei yang dilakukan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menunjukkan bahwa China dianggap sebagai mitra yang paling relevan bagi masa depan ASEAN. Meskipun Jepang memperoleh predikat sebagai mitra yang paling dapat dipercaya, China tetap dipandang sebagai negara yang memiliki relevansi terbesar dalam kerja sama kawasan.
Ketua FPCI, Dino Patti Djalal, menjelaskan bahwa hasil survei menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara mitra yang dipercaya dan mitra yang dianggap paling relevan bagi masa depan ASEAN. Jepang memperoleh tingkat kepercayaan tertinggi, namun responden secara konsisten memilih China sebagai mitra yang paling relevan dalam membangun masa depan kawasan Asia Tenggara.
Survei ASEAN Peoples’ Perceptions Survey (APPS) 2024 yang dilakukan FPCI bersama Lembaga Penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur (ERIA) melibatkan 2.028 responden dari seluruh negara anggota ASEAN serta Timor-Leste. Berdasarkan survei ini, China mendapatkan dukungan sebesar 31,9 persen sebagai mitra paling relevan bagi ASEAN, diikuti oleh Korea Selatan dengan 19,58 persen dan Jepang dengan 19,43 persen.
Di sisi lain, Jepang memperoleh suara sebesar 41,47 persen sebagai mitra yang paling dapat dipercaya. Posisi kedua ditempati oleh Uni Eropa dengan 13,46 persen, sedangkan Australia berada di peringkat ketiga dengan 12,52 persen.
Selain temuan terkait kemitraan strategis, Dino juga menyoroti tiga tren utama lain yang muncul dari survei tersebut. Tren kedua yang teridentifikasi adalah dominasi isu ekonomi sebagai perhatian utama bagi masyarakat Asia Tenggara.
Dalam kaitannya dengan tren ini, berbagai inisiatif ekonomi dan pembangunan mendapatkan pengakuan tinggi dari kawasan. Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas oleh China mendapat tingkat penerimaan sebesar 78 persen, diikuti oleh Official Development Assistance (ODA) dari Jepang sebesar 66 persen. Sementara itu, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) meraih 63 persen, dan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) memperoleh 53 persen.
Namun, berbeda dengan isu ekonomi yang mendapat perhatian positif, isu-isu keamanan justru dinilai sebagai faktor yang paling memecah belah ASEAN. China secara konsisten menjadi pusat perhatian dalam aspek keamanan, terutama dalam hubungan sebagai mitra dialog di kawasan.
Tren ketiga yang ditemukan dalam survei ini menunjukkan adanya kesepakatan bahwa ASEAN harus tetap bersikap netral dan tidak boleh dipengaruhi oleh negara-negara besar dalam mengambil keputusan strategisnya.
Selain itu, tren keempat yang teridentifikasi dalam survei ini berkaitan dengan konsep sentralitas ASEAN dan otonomi strategis. Konsep ini tidak hanya dipahami oleh pejabat dan diplomat, tetapi juga telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat Asia Tenggara.
Meskipun gagasan tentang sentralitas ASEAN mendapatkan dukungan luas, laporan tersebut juga mengungkap adanya tantangan dalam penerapannya. ASEAN dinilai belum mampu mengimplementasikan konsep tersebut secara efektif. Para pemimpin kawasan masih dihadapkan pada tekanan akibat persaingan antarnegara besar, sementara mitra dialog kesulitan untuk keluar dari dinamika rivalitas yang semakin kompleks.
Sebagai solusi, Dino menekankan bahwa kepercayaan strategis harus dibangun agar sentralitas ASEAN menjadi lebih efektif dan tetap relevan dalam dinamika geopolitik global. Namun, survei ini juga mengungkap bahwa kepercayaan terhadap ASEAN justru mengalami penurunan, sehingga memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana peran sentralitas ASEAN dapat dipertahankan di masa mendatang.